A. Urgensi Memahami Sejarah Islam dalam Menggali Pemikiran Ekonomi Islam
Interpretasi Islam terhadap sejarah didasari keyakinan bahwa Islam adalah benar, dan apa saja yang bertentangan dengan Islam adalah salah. Setiap yang disariatkan Allah dalam Islam, baik menyangkut ibadah, jihad, muamalah termasuk di dalamnya tentang ekonomi atau yang lainya adalah benar dan tidak memerlukan apologi atau justifikasi dari manapun.
Ciri khas sejarah islam berbeda dengan sejarah selainya karena adanya pengaruh wahyu Allah SWT. Pemahaman terhadap ciri khas ini dapat menjelaskan misalnya, mengapa dalam sejarah islam imam mendominasi setiap perilaku muslim.
Interpretasi Islam terhadap sejarah bukanlah interpretasi materialistik, yang hanya mengakui faktor - faktor material seperti alat - alat produksi sebagai satu-satunya yang memberi pengaruh terhadap sejarah umat manusia, sebagaimana idiologi Marxis. Juga bukan interpretasi materi yang menganggap perubahan sejarah berasal dari faktor-faktor eksternal, seperti lingkungan fisik, iklim, geografi, ekonomi dan lainya, sebagaimana idiologi barat.
Interpretasi Islam secara jelas mengindikasikan tanggung jawab dan peran manusia dalam memengaruhi perubahan sejarah dalam kerangka kehendak Allah SWT. Karena itu, interpretasi Islam tidak rasial yang menitikberatkan pada ras tertentu, tapi mengakui peran- peran seluruh lapisan masyarakat sesuai kontribusinya secara proporsional.
Merupakan suatu fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun bahwa peradaban islam merupakan peradaban besar yang berlangsung dalam bilangan abad. Yang dimaksud dengan peradaban besar disini bukanlah seperti peradaban yang dipahami Barat selama ini yang diukur dari pencapaian material semata. Peradaban menurut Islam memperhitungkan pencapaian tujuan asasi penciptaan mahluk yang telah ditentukan Allah SWT, yaitu mengabdi kepada-NYA. Perhatikan firman Allah:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia supaya mereka mengabdi kepadaku” ( QS adz- Dzaariyat: 56)
Dengan demikian menurut Islam, peradaban besar adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang kondusif secara politik, sosial, ekonomi, kultural dan material, dan mengantarkan warganya untuk dapat mengamalkan perinta-perinta Allah dalam seluruh aktifitasnya. Atau dalam ungkapan Dr Yusur al-Qardhawi, peradaban yang memerhatikan aspek material dan spiritual; idialis dan realistis; rabani dan insani; moralis dan kontruktif; yang memperhatikan aspek individu dan sosial sekaligus peradaban yang seimbang dan moderat.
Bagaimanapun majunya suatu peradaban dalam sains, teknologi, arsitek, ekonomi, kultural dan material, dalam panangan Islam tetap “terbelakang” jika tidak menyediakan lingkungan yang kondusif untuk mengabdikan kepada Allah dan mengamalkan ajaran-ajaran-Nya.
Peradaban Islam sendiri telah melewati beberapa tahap. Sebagian besar pencapaian materialnya justru tidak terjadi selamaperiode-periode awal. Namun, perilaku muslim periode awal jelas lebih sesuai dengan ajaran syariat. Nabi sendiri menegaskan hal itu dalam sabdanya, “sebaik-baik generasi adalah generasiku, lalu setelah mereka, dan generasi setelah itu.”
Penting ditegaskan bahwa seluruh pembahasan periode dalam sejarah Islam harus dinilai dari sudut pandang Islam itu sendiri. Dalam berbagai penelitian belakang terungkap bahwa pemahaman kita tentang periode-periode tertentu bisa jadi mengalami perubahan signifikan ketikaperiode itu dievaluasi kembali. Sebagaimana terjadi pada kasus Daulah Utsmaniyah saat rekaman-rekaman sejarah mereka kembalidievaluasi oleh 400 sejarawan muslim.
Tampaknya, dengan mengevaluasi kembali sejarah yang ada, akan terungkap distorsi-distorsi yang menyesatkan dalam sejarah kita, dan berikutnya kemungkinan akan terjadi perubahan pandangan dan pemahaman kita terhadap periode Umayyah Abasiyah serta periode berikutnya.
B. Perniagaan pada Masa Arab Pra-Islam
Kehidupan perniagaan bangsa Arab merupakan fakta yang telah dikenal dalam sejarah. Mata pencarian penduduk di kawasan ini dengan kondisi wilayah yang kering, padang pasir penuh dengan bebatuan dan pegunungan tandus adalah berdagang. Tidak ada hasil pertanian tidak ada hasil pertanian yang dapat dipetik dari daerah itu. Al-Quran menggambarkan kondisi ini melalui doa Nabi Ibrahim as:
“ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunankudi lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS Ibrahim: 37)
Di antara banyak suku di Arab, terdapat suku Quraisy yang merupakan suku asal Nabi Muhammad Saw. Suku ini dikenal memiliki otoritas sebagai penjaga ka’bah. Posisi ini membuat suku Quraisy sangat leluasa dan aman untuk melakukan perjalanan dagang di seluruh kawasan ini. Hampir seluruh suku dalam rute perdagangan menuju Syria, yaman dan Bahrainmenghormati dan menghargai kafilah-kafilah Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim panas digambarkan dalam firman Allah:
“karena kebiasaan orang-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” ( QS Quraisy: 1-4)
Sebagai kaum yang mempunyai hubungan dagang lintas negara, kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik. Usaha perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi usahapun telah mereka dirikan. Syirkah dalam berbagai tipe dijalankan, dimana para pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan. Mudharabah juga telah dijalankan, dimana pemilik modal hanya menjadi sleeping partner yang ikut menikmati keuntungan dan menderita kerugian. Bahkan kaum wanita, para janda, dan anak-anak yatim dapat berdagang melalui jenis usaha ini. Siti khatijah ra adalah salah satu contoh janda kaya yang melakukan usaha jenis ini dengan berbagai orang yang berbeda. Paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib, memiliki usaha yang sangat besar dengan cara kerjasama seperti ini.
C. Bunga Sebagai Komponen Ekonomi
Kebiasaan membungakan uang telah menjadi suatu bagian dalam perekonomian masyarakat Arab, seperti di negara- negara lain di dunia. Pada kenyataanyabunga telah dianggap sebagai komponen yang sangat penting dalam sistem perekonomian yang ada. Namun Islam menganggap bunga sebagai suatu kejahatan ekonomi yang membawa pengaruh yang membahayakan bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Al- Quran yang menggunakan kata “riba” (untuk bunga) menyatakan bahwa bunga diharamkan dalam kehidupan komunitas masyarakat muslim. Karena bunga telah berakar sedemikian rupa dalam kehidupan masyarakat, Allah SWT yang Mahabijaksana dan Mahamengetahui menurunkan larangan bunga secara bertahap, sehingga aturan baru ini tidak mengacaukan kehidupan ekonomi masyarakat atau menimbulkan kesulitan bagi mereka.
Karena bunga telah berakar sedemikian rupa dalam kehidupan masyarakat, Allah Mahabijaksana dan Mahamengetahui menurunkan larangan bunga secara bertahap, sehingga aturan baru ini tidak mengacaukan kehidupan ekonomi masyarakat atau menimbulkan kesulitan bagi mereka |
Masyarakat Arab pra-Islam sendiri tidak membedakan antara riba dengan perdagangan. Pada kenyataanya mereka memang menganggap riba sebagai salah satu bentuk perdagangan,. Mereka berpendapat, jika seorang membeli sesuatu misalnya sehelai kain seharga 2 dinar dan menjualnya dengan 2,5 dinar, maka itu adalah transaksi yang wajar. Demikian pula jika seorang membeli pinjaman 2 dinar dan menerima pengembalianya 2,5 dinar dari pinjaman, maka itu dianggap wajar dan halal karena kedua jenis transaksi tersebut dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak.
Al-Quran telah meluruskan pemikiran yang keliru tersebut, bahwa perdagangan tidaklah seperti riba, dan riba bukanlah bentuk perdagangan. Firman Allah SWT :
“keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah: 275).
D. Pengaruh Sejarah Islam Terhadap Pembentukan Sistem Ekonomi Islam.
Jika fakta sejarah bangsa Arab diatas kita kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa sistem perekonomian yang dianut oleh suatu bangsa (negara, atau sekelompok masyarakat) dipengaruhi oleh seperangkat nilai (set of values) yang dianut oleh bangsa atau kelompok masyarakat tertentu seperti: adat, kebiasaan, norma-norma, kepercayaan, idiologi dan filsafah maka dapat kita simpulkan bahwa sistem ekonomi yang terbentuk pada masa Rasulullah, khulafaur rasyidin, dan kemudian diwariskan pada Daulah Umayyah dan seterusnya hingga sekarang adalah:
1. Suatu sistem ekonomi yang dipengaruhi oleh adat istiadat bangsa Arab yang gemar berdagang, dan
2. Suatu sistem ekonomi yang dipengaruhi oleh seperangkat nilai (set of values) Islam.
Anwar Iqbal Quresi menemukan kebiasaan orang Arab sebelum Islam dalam transaksi dagang sebagai berikut:
1. Seorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayaranya akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujui bersama. Apabila pembeli kemudian tidak dapat membayarnya pada tanggal yang telah disetujui itu, suatu “waktu tenggang” diberikan asalkan pembeli setuju untuk membayar jumlah yang lebih besar dari harga semula.
2. Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama suatu jangka waktu tertentu dengan syarat bahwa pada saat jatuh temponya nanti si peminjam membayar “pokok modal” bersama suatu jumlah tetap “riba” atau “tambahan”.
3. Si peminjam dan si pemberi pinjaman setuju atas suatu tingkat “riba” tertentu selama selama suatu jangka waktu tertentu. Apabila setelah jangka waktu tertentu si peminjam tidak dapat melunasi hutangnya beserta jumlah tambahanya, ia kemudian diharuskan membayar suatu tingkat kenaikan “riba” sebagai tambahan “waktu tenggang”.
Temuan Anwar Iqbal Quresi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami pengertian dan jenis riba yang dilarang dalam Al-Quran, yaitu dalam Surat ar-Ruum ayat 39(Makkiah), surat Ali Imran ayat 130 (Madaniyah), surat an-Nisaa’ ayat 161 (Madaniyah) dan surat AL-Baqarah ayat 275, 276, 278, 279 (Madaniyah).
Mudah mudahan bermanfaat
Sumber buku:
JEJAK REKAM EKONOMI ISLAM
“Refleksi Peristiwa Ekopnomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Islam”
Penulis:
Karnaen A. Perwataatmadja
Anis Byarwati
Note: Only a member of this blog may post a comment.